Dalam beberapa hari terakhir ini, di laman Facebook saya, banyak yang posting cuplikan-cuplikan film aksi dan fiksi dari film produksi India. Banyak adegan aksi atau kepahlawanan dari tokoh protagonis ataupun antagonis yang ditampilkan secara extra-ordinary, melebihi kemampuan imajinasi kita. Bahkan ketika kita mencoba memaklumi bahwa film itu adalah fiksi, namun tetap saja kita takjub. Bisa membalikkan mobil sendirian, melawan ratusan tentara sendirian dalam duel senjata terbuka namun tidak terluka, dan banyak adegan yang saya sendiri sulit untuk mendeskripsikan. Silakan anda cari sendiri, karena saya tidak akan membahas betapa dahsyatnya adegan-adegan tersebut. Namun saya akan coba bertanya proses dibalik adegan tersebut sampai bisa akhirnya tayang.
Seperti yang kita ketahui, membuat film adalah kerja team atau teamwork. Ada aktor/aktris, penulis naskah, makeup artist, cameraman, produser, sutradara, production designer, dsb. Dalam prosesnya, pasti terjadi pro-kontra atau perdebatan seputar teknik pengambilan gambar, alur cerita, ekspresi aktor, tata cahaya atau suara, dsb. Pada akhirnya, keputusan bahwa adegannya seperti apa pastinya sudah melewati perdebatan antara berbagai pihak dan tentunya didasari dengan argumen yang berbeda-beda pula. Keputusan yang kolektif. Dan tentunya pula, keputusan itu juga sudah mempertimbangan kondisi pasar (penonton) yang akan dituju. Bagaimanapun juga, film-film itu dibuat dengan pertimbangan bisnis. Untung atau rugi. Kalau tujuan utama untuk konsumsi film festival atau seni murni, rasanya tidak akan seperti itu hasilnya.
Mungkin bagi mereka, silakan saja anda tertawakan adegan-adegan tersebut atau komentari sesuka anda. Berarti film itu memang bukan untuk anda konsumsi. Atau anda lupa mengubah mindset saat menonton film ini. Faktanya, film-film seperti itu banyak dibuat dan tentunya juga banyak penontonnya. Seperti halnya teori “supply and demand”. Pasar untuk film-film ini memang ada. Kalau tidak, tentunya cuplikan-cuplikan itu tidak akan kita tonton atau tidak eksis. Apakah film-film tersebut membawa untung atau rugi, saya tidak bisa berkomentar. Saya hanya bisa berkomentar bahwa saya iri dengan mereka. Iri karena mereka bisa berimajinasi dengan bebas dan pada akhirnya bisa mewujudkan khalayan itu menjadi suatu karya. Dan untuk bisa mewujudkan karya itu, terlebih dahulu harus meyakinkan pihak lain, mendapat persetujuan dari banyak pihak dan mereka pada akhirnya mau berkolaborasi untuk mewujudkan khayalan itu. Terbayang betapa mereka berdebat dan berargumentasi mengenai ide atau imajinasi yang akan dieksekusi sebagai final design atau menjadi karya. Saya yakin anda pernah mengalami perdebatan ini kan? Ketika desain yang anda ajukan kemudian di-challenge oleh creative director, oleh engineer, oleh team sales, team marketing, team purchasing, dsb. Dan anda akan berusaha semaksimal mungkin agar desain anda mendapat persetujuan dan pada akhirnya bisa diproduksi.
Akhirnya, kalaupun ada yang memandang karya itu dari kacamata berbeda, bukankah itu hal yang biasa? Bukankah berkomentar itu lebih mudah daripada berbuat? Dan sekarangpun terbalik, saya menertawakan diri saya sendiri. Ide atau khayalan liar apa yang saya punya dan pada akhirnya bisa saya wujudkan sebagai karya? Tidak harus karya yang melibatkan teamwork, tapi bisa saja karya individual…
Do I have it? Do I dare to create it? Even just to dream about it?