Deg-degan. Itu yang saya rasakan saat itu, dan mungkin juga perasaan yang sama dialami oleh istri saya, ketika mendengar anak saya dipanggil perawat untuk masuk ruang operasi. Walau mungkin ini adalah tindakan operasi minor, namun membayangkan anak sekecil terbaring itu di meja operasi dengan kondisi dibius total sungguh sesuatu yang berat buat saya. Semalam pun tidur juga tak nyenyak, bahkan sulit untuk membuat mata terpejam.



Lampu indikator ruang operasi anak saya pun menyala. Pertanda tindakan bedah sudah dimulai. Tidak ada lagi yang bisa kami lakukan selain pasrah, berdoa dan menanti. Sakit yang mungkin terdengar sepele di telinga awam, kuku jempol kaki kiri lepas karena kecelakaan sewaktu bermain di sekolah di pertengahan November 2016 lalu, ternyata harus ditangani serius dan harus melibatkan dokter spesialis bedah rekonstruksi. Hal ini dikarenakan karena pertumbuhan kuku jempolnya tidak sesuai harapan. Anak polah, bapa kepradah, istilah dalam bahasa Jawa yang mungkin sesuai dengan kondisi saat ini, apapun yang anak lakukan maka orang tua harus bertanggung jawab. Sehingga, tidak ada pilihan lain bagi kami selain totalitas dalam memberikan yang terbaik bagi anak dan berharap dia bisa kembali beraktivitas seperti sedia kala.

Mungkin ini serba pertama bagi kami. Pengalaman pertama sebagai orang tua yang harus terduduk menunggu dan mencoba menenangkan diri di luar ruang operasi. Pengalaman pertama pula bagi anak kami harus menjalani bius total dan masuk ruang operasi menjalani semua tindakan seorang diri. Pertama kali juga bagi kami datang ke rumah sakit saat subuh dan tidak dalam kondisi emergency. Kami berharap tidak ada kedua, ketiga dan selanjutnya. Biarlah ini menjadi yang pertama dan juga yang terakhir. Menunggu adalah pekerjaan yang membosankan, apalagi menunggu anak yang sedang menjalani tindakan bedah. Tidak ada enak-enaknya bagi kami. Perasaan deg-degan, was-was, takut, tidak tenang bahkan kadang mules. Bahkan kopi Indocafe 3in1 yang biasanya nikmat saya minum, kali ini hambar terasa.

Lampu indikator padam, pertanda tindakan di ruang bedah sudah selesai. Dan pasien akan dipindahkan ke ruang pemulihan. Tanpa terasa sekitar 40 menit lampu itu menyala dan selama itu pula anak saya menjalani tindakan bedah. Selama itu kami gelisah dan kadang resah. Mungkin inilah alasan dokter bedah menyarankan tindakan operasi umum yang tentunya dengan bius total, pertimbangan psikologis/mental pasien dan kompleksitas tindakan bedah. Karena setelah menerima penjelasan langsung oleh dokter bedah ketika operasi selesai, ternyata cukup kompleks tindakan yang harus dilakukan. Tidak terbayang seandainya bius lokal, bisa jadi anaknya sudah berontak atau menangis dengan bonus menjerit sekerasnya.



Bersyukur semua tindakan bedah berjalan lancar. Tinggal menunggu masa penyembuhan, yang mana si pasien dituntut untuk mengurangi aktivitas agar luka bekas operasi segera sembuh. Dokter juga mewanti-wanti agar tidak banyak gerak dulu, khususnya berdiri atau berjalan, karena kaki akan menopang badan dan bisa menekan jempol kaki. Konsekuensinya, bapaknya harus menggendong kemana dia akan berpindah tempat, yah anggap saja olahraga angkat beban. Harapan kami sederhana, semoga dia kembali sehat seperti sedia kala. Dan tidak sering-sering dolan ke rumah sakit, soale ora kepenak babar pisan 😉

